ada sekitar abad ke-7 hingga ke-11, terjadi beberapa seri perang yang
melibatkan Muslim Arab dengan kerajaan Romawi Timur atau yang disebut
juga dengan kerajaan Byzantine. Peperangan besar ini terjadi ketika
ekspedisi Muslim yang ada di bawah pimpinan Rashidun dan kekhalifahan
Umayyad baru saja dimulai pada awal abad ke-7, dan dilanjutkan oleh
penerusnya hingga pertengahan abad ke-11. Salah satu perang ini
merupakan perang besar yang dikenal dengan nama perang Mu’tah. Sejarah
perang Mu’tah – 3.000 pasukan Muslim melawan 200.000 pasukan Romawi
sendiri dimulai pada tahun 8 Hijriah (sekitar tahun 629 Masehi) di
sebuah desa di Mu’tah, bagian timur dari sungai Jordan dan Karak.
Sejarah perang Mu’tah – 3.000 pasukan Muslim melawan 200.000 pasukan
Romawi tidak akan dimulai tanpa sebelumnya ada sesuatu yang lebih besar,
yaitu perselisihan antara pihak Byzantine dengan Muslim. Hal ini
disebabkan oleh ledakan penduduk Arab dari Arab Peninsula pada tahun
630-an yang menyebabkan hilangnya sebagian besar area jajahan Byzantine
di bagian selatan yaitu Syria dan Mesir yang berhasil direbut umat
Muslim. Dalam rentang waktu 50 tahun, pasukan Muslim yang ada di bawah
kekhalifan Umayyad yang agresif tak henti meluncurkan serangan berulang
ke area Asia Minor yang saat itu menjadi daerah kekuasaan kerajaan
Byzantine. Selain serangan, dua kali ancaman untuk penundukkan
Konstantinopel juga dilayangkan.
Latar belakang perang Mu’tah sendiri terjadi ketika perjanjian
Hudaybiyyah mengatur gencatan senjata antara kaum Quraish dan tentara
yang mengatur kekuatan di Mekah. Badhan, pemerintah Sassani dari Yemen
sudah mulai masuk Islam, begitu juga kaum-kaum yang ada di Arab Selatan,
meningkatkan kekuatan militer di Madinah. Karena hal ini, Muhammad
menjadi sedikit lebih bebas dan bisa fokus terhadap suku Arab yang ada
di utara, yaitu Bilad al-Sham. Salah satu sejarawan Islam menyatakan
bahwa pergerakan militer ke utara adalah karena perlakuan yang buruk
pihak utara kepada utusan yang dikirim Muhammad, dimana utusan tersebut
dibunuh. Yang menyebabkan kerajaan Byzantine ikut campur adalah karena
kaum Bani Sulaym dan Dhat al Taih merupakan kaum yang ada dalam
perlindungan Byzantine.
Sejarah perang Mu’tah – 3.000 pasukan Muslim melawan 200.000 pasukan
Romawi dimulai ketika pada awal tahun 8 Hijriah (sekitar tahun 629
Masehi), Muhammad menggerakkan pasukannya menuju area Jumada al-Awwal
untuk ekspedisi singkat dengan tujuan menyerang dan menghukum kaum yang
membunuh utusannya. Pemimpin pasukan ini ialah Zayd ibnu Haritha, dengan
Jafar ibnu Abi Talib dan Abdullah ibnu Rawahah tepat di bawahnya.
Pemimpin Ghassanid dipercaya telah mengetahui tentang serangan yang
direncanakan oleh Muhammad ini, sehingga ia mulai menyiapkan pasukannya
dan meminta bantuan dari Byzantine. Ada dua versi tentang siapa yang
memimpin pasukan besar dari Romawi ini, dimana salah satu versi
mengatakan bahwa pemimpinnya adalah Heraclius langsung, dan versi lain
adalah adik dari Heraclius, yaitu Theodorus.
Ketika pasukan Muslim tiba di area timur Jordan dan mengetahui ukuran
tentara yang dibawa oleh pasukan Byzantine, mereka menjadi takut.
Mayoritas dari mereka ingin menunggu sebentar dan menunggu bantuan dari
Madinah datang, tapi kemudian Abdullah ibnu Rawahah mengingatkan mereka
tentang keinginan jihad, dan mempertanyakan apakah baik jika mereka
menunggu sedangkan apa yang mereka inginkan ada di depan mereka.
Mendengar pernyataan dari Abdullah tersebut, hati para pasukan tergerak,
dan segala keraguan yang menghantui mereka beberapa saat lalu mendadak
hilang sehingga mereka berani untuk terus maju ke medan perang melawan
pasukan yang jumlahnya hampir 67 kali jumlah mereka sendiri.
Pertikaian pertama antara pihak Muslim dan Byzantine yang membuka
sejarah perang Mu’tah – 3.000 pasukan Muslim melawan 200.000 pasukan
Romawi – terjadi di kamp mereka sendiri, di desa Musharif dimana mereka
kemudian mundur ke Mu’tah. Baru di Mu’tah lah perang besar terjadi.
Beberapa sumber Muslim mengatakan bahwa perang yang terjadi ini
mengambil tempat di antara dua lembah dengan tinggi yang berbeda, dimana
hal itu menetralkan superioritas jumlah yang dimiliki tentara
Byzantine. Dalam perang ini, ketiga pemimpin pasukan Muslim tumbang satu
persatu dimulai dari Zayd ibnu Haritha yang disusul oleh Jafar ibn Abi
Talib dan Abdullah ibnu Rawahah setelahnya. Al-Bukhari melaporkan bahwa
di bagian depan tubuh Jafar terdapat 50 luka tusuk. Melihat semangat
tentara Muslim yang mulai menciut, Thabit ibnu Al-Arqam mengambil alih
komando dan menyelamatkan pasukannya dari kehancuran total. Setelah
perang selesai, para pasukan meminta Thabit menjadi pemimpin mereka yang
ia tolak, dimana ia kemudian meminta Khalid ibnu al-Walid untuk
memimpin.
Ketika perang, Khalid dilaporkan menggunakan 9 pedang yang seluruhnya
rusak karena peperangan lanjutan yang terjadi sangatlah intens. Pada
akhirnya, Khalid melihat bahwa situasi mereka sangat terdesak dan mulai
bersiap untuk mundur. Ia terus mengonfrontasi Byzantine dalam pertikaian
kecil, tapi menghindari pertikaian besar. Suatu malam, Khalid mengganti
posisi pasukannya dan membawa rearguard yang telah dipasangkan bendera
baru. Hal ini untuk membuat impresi bahwa ada pasukan tambahan yang
dikirim dari Madinah. Khalid juga memerintahkan kepada para kavaleri
untuk mundur ke belakang bukit pada malam hari agar gerakan mereka tidak
diketahui oleh pihak Byzantine, dan kembali pada siang hari sambil
menaikkan jumlah debu yang bisa mereka kumpulkan sebanyak mungkin. Hal
ini menjadi bagian penutup sejarah perang Mu’tah – 3.000 pasukan Muslim
melawan 200.000 pasukan Romawi – dimana pihak Byzantine percaya akan
adanya pasukan yang menolong dari Madinah, dan memutuskan untuk mundur.
Sumber: www.portalsejarah.com
0 komentar:
Posting Komentar